Askar Wataniah dan Bukti Lemahnya Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Adanya indikasi mengenai WNI yang direkrut sebagai anggota pasukan Askar Wataniah-pasukan keamanan Malaysia di perbatasan-yang merupakan bagian dari Tentara Diraja Malaysia menunjukkan lemahnya kontrol dan komitmen pemerintah dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Buruknya lagi, keanggotaan warga negara Indonesia sebagai Askar Wataniah diperkirakan sudah diketahui pemerintah Indonesia dan TNI setidaknya dua tahun silam. Hal ini tentu saja semakin memperkuat asumsi bahwa ada kelemahan dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia. Selain itu, belum selesainya pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Wilayah Negara inisiatif DPR juga menjadi cerminan bahwa para petinggi di negara ini tidak melihat aspek pengelolaan perbatasan negara sebagai sesuatu yang mendesak. Adalah sesuatu yang ironi ketika Indonesia telah merayakan kemerdekaannya sebagai sebuah negara berdaulat selama lebih dari 62 tahun namun masih belum memiliki regulasi dan sistem manajemen perbatasan yang terintegrasi, efektif dan efisien.
RUU Wilayah Negara dan Cakupannya
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Negara (RUU Wilayah Negara) inisiatif DPR RI, Bab VI mengenai Kewenangan, pasal 29 telah disebutkan bahwa pemerintah akan membentuk badan baru dari instansi terkait yang akan melaksanakan wewenang sebagai berikut, melakukan perundingan perbatasan dan membangun/membuat tanda batas; melakukan pembangunan di wilayah perbatasan; menetapkan pembiayaan pembangunan di wilayah perbatasan; menjaga wilayah perbatasan; dan, membuat dan memperbaharui peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali dan mendepositkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Usul positif DPR RI kepada pemerintah untuk membentuk lembaga baru ini tentunya juga harus dianalisa sesuai dengan kebutuhan, karena pembentukan badan khusus yang menangani perbatasan tersebut akan membutuhkan sumber daya finansial dan sumber daya manusia yang tidak sedikit. Jika kita lihat lebih dalam, badan baru yang menangani perbatasan tersebut akan menangani dua aspek utama di perbatasan, yakni aspek sosial ekonomi (pembangunan) dan keamanan. Pemberian wewenang kepada badan baru tersebut dalam pelaksanaan pembangunan dinyatakan dalam pasal 26 RUU Wilayah negara yaitu, kewenangan dalam pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan sosial budaya, termasuk juga peran serta masyarakat dalam pembangunan wilayah perbatasan. Pemerintah daerah (tingkat propinsi dan kabupaten) sendiri hanya diberikan wewenang dalam rangka tugas pembantuan, mengalokasikan dana anggaran pembangunan wilayah perbatasan, melakukan koordinasi pembangunan, dan mengawasi pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan. Artinya, badan baru tersebut akan memiliki wewenang penuh dalam pembangunan wilayah perbatasan. Kemudian, wewenang badan baru yang menangani perbatasan tersebut dalam aspek keamanan dicantumkan dalam pasal 26 RUU Wilayah Negara butir (f) yaitu menjaga wilayah perbatasan.
Secara garis besar, dapat dilihat bahwa badan baru tersebut akan memiliki wewenang penuh dalam pelaksanaan pembangunan dan keamanan di perbatasan dan pembentukannya akan melibatkan instansi-instansi terkait yang ditugaskan menangani permasalahan di perbatasan, seperti, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal, Departemen Luar Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Polri, Departemen Hukum dan HAM, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Komunikasi dan Informasi dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pelibatan instansi-instansi tersebut dalam pembentukan sebuah badan baru yang menangani perbatasan tentunya membutuhkan persiapan dan regulasi yang baik.
Keamanan di Perbatasan: Tanggung Jawab Siapa?
Selain itu, dalam proses pelibatan instansi-instansi terkait dalam penanganan masalah di perbatasan pemerintah perlu memperhatikan satu hal yang sangat penting yaitu mengenai wewenang menjaga perbatasan. Seperti kita ketahui, saat ini hanya ada satu instansi terkait yang diberikan wewenang untuk menjaga perbatasan berdasarkan Undang-Undang yakni Tentara Nasional Indonesia. Dalam UU TNI No.34 tahun 2004 dinyatakan bahwa salah satu fungsi pokok TNI adalah mengamankan wilayah perbatasan. Akibatnya, TNI seakan-akan menjadi tokoh sentral dalam pengelolaan keamanan di perbatasan. Padahal, wilayah perbatasan secara substansial tidak berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia yang menempatkan Polri dan TNI sebagai alat negara dalam memelihara stabilitas keamanan dan menegakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya aktor keamanan di perbatasan dioptimalkan, dengan menempatkan Polri sebagai aktor keamanan yang signifikan di perbatasan.
Terkait dengan hal diatas, maka perlu ditinjau kembali kebutuhan pengelolaan keamanan di perbatasan Indonesia sesuai dengan perkembangan dinamika transnasional yang terjadi saat ini. Perlu ditekankan bahwa saat ini masalah keamanan di perbatasan telah bergeser dari paradigma pertahanan, yang lazim dihadapi oleh negara-negara yang baru merdeka (NICs/Newly Independent Countries) dan didominasi oleh ketakutan akan pelanggaran kedaulatan negara, menuju paradigma penegakkan hukum (law enforcement), yang didominasi oleh tindak kriminalitas di perbatasan seperti, penyelundupan sumber daya alam, penyelundupan barang konsumsi, penyelundupan manusia/tenaga kerja, penyelundupan narkotika, dan jaringan terorisme internasional. Tentunya, pergeseran paradigma ini juga melahirkan transisi yang sangat penting, yakni konsentrasi yang lebih tinggi pada penempatan aparat penegak hukum seperti polisi, bea cukai dan imigrasi di seluruh garis terdepan perbatasan dan bukan hanya konsentrasi tinggi kekuatan militer (militer sebagai komponen pendukung di perbatasan).
Kasus pengelolaan keamanan di perbatasan Indonesia memperlihatkan kondisi yang sebaliknya, konsentrasi polisi, bea cukai dan imigrasi-yang merupakan kekuatan penegak hukum-sebagian besar berada di pos-pos perbatasan pusat seperti bandara dan pelabuhan. Hal ini membuktikan bahwa masih adanya kesenjangan kebijakan pemerintah untuk wilayah perbatasan. Nampaknya pemerintah melihat wilayah-wilayah perbatasan di tingkat lokal belum memiliki arti strategis dalam pengelolaan keamanan. Padahal, frekuensi pelanggaran hukum di wilayah perbatasan tingkat lokal jauh lebih tinggi dan lebih merugikan negara terutama secara ekonomi dibandingkan wilayah perbatasan pusat seperti bandara dan pelabuhan.
Nasionalisasi Isu Perbatasan
Nasionalisasi isu-isu perbatasan negara dapat diawali dengan mengubah paradigma yang berkembang saat ini. Diskursus mengenai wilayah perbatasan sebagai wilayah terluar harus segera diakhiri dengan menetapkan wilayah perbatasan sebagai wilayah terdepan. Dengan demikian, wilayah perbatasan tidak lagi terjebak dalam dikotomi pusat-pinggiran (center-periphery) yang sangat merugikan perkembangan wilayah perbatasan baik itu dari segi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Hingga saat ini isu-isu mengenai perbatasan baik itu seputar keamanan perbatasan dan manajemen perbatasan tidak pernah dibahas secara serius di tingkat pertemuan kabinet. Isu perbatasan hanya akan menjadi isu yang penting ketika terjadi hal-hal yang bersinggungan dengan kedaulatan negara, misalnya sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan blok Ambalat.
Selain itu, isu seputar perbatasan masih mendapatkan perhatian yang minim dari para stakeholders di Indonesia. Padahal permasalahan manajemen perbatasan adalah permasalahan yang tidak kalah penting dibandingkan isu-isu seputar reformasi sektor keamanan lainnya. Pada tahun 2008, DPR berencana akan membahas RUU Inisiatif DPR mengenai Wilayah Negara setelah sebelumnya terbengkalai. Sudah sepatutnya, para stakeholders mengawasi dan memberikan masukan mengenai pengelolaan wilayah negara dan terlibat dalam diskursus mengenai pembentukan badan baru, yaitu badan perbatasan negara.
Regulasi yang dihasilkan oleh DPR ini nantinya harus mendefinisikan secara jelas mekanisme dan institusi pengelola wilayah perbatasan negara, mulai dari aktor keamanan dan pemberdayaan masyarakat di perbatasan negara. Sehingga diharapkan pengelolaan batas negara akan bersifat integratif (bukan koordinatif) dan lebih optimal.
Aditya Batara Gunawan (Koord. riset dan seminar LESPERSSI)
|